ILMU

Anak dan Istri; Antara Musuh dan Penyenang Hati

keluargaBismillah, wal hamdulillah wash shalatu was salam ‘alaa rasuulillah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah..
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdulhalim bin Abdussalam bin Taimiyyahrahimahullah ditanya:
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ 
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya dari istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian dari mereka.” (QS. Ath Thaghabun [64]: 14)
Apakah lafadz “min” (Dari) dalam ayat ini untuk menunjukkan sebagian? Sehingga musuh itu hanya sebagian dari mereka saja, atau “min” dalam ayat ini untuk “ziyadah” (tambahan) saja? Sehingga maknanya adalah, seluruh istri dan seluruh anak adalah musuh?
Syaikhul Islam rahimahullah menjawab:
Alhamdulillah. Yang benar, “min” dalam ayat ini menunjukkan sebagian dengan kesepakatan manusia. Maka maknanya adalah, sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh. Tidak semua istri dan anak menjadi musuh. Bukan itu yang ditunjukkan oleh lafadz ini. Ini makna yang batil. Allah berfirman tentang Ibadurrrahman, mereka berkata,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
“Ya Tuhan kami, karuniakan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” (QS. Al Furqan [25]: 74)
Mereka meminta kepada Allah agar Allah mengaruniakan kepada mereka istri-istri dan anak-anak yang menjadi penyenang hari mereka. Jika semua istri dan anak musuh, maka tidak akan ada yang menjadi penyenang hati. Karena musuh tidak mungkin menjadi penyenang hati, akan tetapi sesuatu yang dibenci hati. Sebagaimana diketahui, bahwa Ismail dan Ishaq, kedua anak Ibrahim, atau seperti Yahya anak Zakaria dan yang seperti mereka bukanlah musuh.
Adapun orang yang mengatakan bawah “min” dalam ayat tersebut sebagai tambahan (ziyadah), keliru dari beberapa sisi:
Pertama, madzhab Sibawaih dan Mayoritas ulama nahwu mengatakan bawah “min” tidak menjadi tambahan dalam bentuk kalimat positif, akan tetapi menjadi tambahan dalam kalimat negatif sebagai penguat dari penegasian yang bersifat umum.
Nah, dalam ayat ini, huruf “min” berada dalam bentuk kalimat positif, bukan negatif. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan sebagai “min” tambahan.
Kedua, bagi yang membolehkan “min” digunakan sebagai tambahan dalam kalimat positif –seperti Akhfasy- hanya membolehkannya dalam ungkapan yang padanya ada indikasi yang menunjukkan hal itu. Jika seseorang berkata,
ان من هؤلاء القوم مسلمين
 “Sesungguhnya dari mereka ada orang-orang muslim.” sementara ia menghendaki makna bahwa semua dari mereka adalah orang-orang muslim, maka hal itu tidak diperbolehkan dengan kesepakatan.
Ketiga, jika “min” dikatakan sebagai tambahan, maka makna ayat tersebut menjadi keliru.
Keempat, makna ziyadah bukan makna asal (pokok), maka tidak boleh dipilih tanpa ada dalil. Wallahu ‘alam (dinukil dengan ringkas Jaami’ul Masaa`il, vol. 4, hal. 76-78)
Anak dan Istri yang Menjadi Musuh 
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat dalam surat Ath Thaghabun diatas mengatakan, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa diantara sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh bagi suami dan anaknya. Maknanya, bahwa ia menjadi terlalaikan dengan amal dan shaleh disebabkan olehnya. Seperti dalam firman Allah,
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al Munafiqun [63]: 9)
Oleh karena itu dikatakan dalam ayat ini, “Barhati-hatilah kamu darinya.” Ibnu Zaid berkata, “Maksudnya adalah dalam urusan agama.”
Mujahid berkata, firman Allah, “sesungguhnya dari istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian” membuat seorang laki-laki memutuskan silaturahmi atau bermaksiat kepada Rabbnya, karena kecintaannya (kepada istri dan anak), ia tidak mampu berbuat apa pun kecuali menuruti keinginan keduanya.” (Tafsir al Qur`an al Adziim, vol. 7, hal. 292, cet. Ibnul Jauzi)
Itulah istri dan anak yang menjadi musuh bagi seorang laki-laki, yaitu istri dan anak yang terlampau dicintai dan disayanginya sehingga membuat ia melupakan Allah, menelantarkan agama, berpaling dari ilmu dan amal shaleh, bahkan menjadikannya bermaksiat kepada Allah, menzalimi sesama, tidak menunaikan hak orang lain dan kikir dalam berinfak di jalan Allah. Betapa banyak saat ini seorang suami dan juga ayah, seorang kepala dalam keluarga yang menjadi ‘korban’ dari anak dan istrinya.
Anak dan Istri yang Menjadi Penyenang Hati 
Tidak semua anak dan istri menjadi musuh, sebagian dari mereka justru menjadi perhiasan dunia seutuhnya, penyenang hati, penggugah jiwa dan penggelora semangat dalam menjalani kehidupan sebagai hamba Allah di dunia ini.
Imam Ath Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari beberapa para ulama salaf mengenai tafsir dari istri-istri dan anak-anak yang menjadi penyenang hati seperti doa ibadarurrahman dalam surat Al Furqan diatas,
Ibnu Abbas mengatakan, “Yaitu mereka yang mentaatimu, mereka menjadi penyenang hati kita di dunia dan di akhirat.”
Hazm berkata, aku mendengar orang bertanya kepada al Hasan, wahai Abu Said, apakah ayat ini untuk di dunia dan di akhirat? Ia menjawab, “tidak, untuk di dunia.” Bagaimana itu? “Yaitu, seorang mukmin melihat istri dan anaknya mentaati Allah.”
Hadzrami membaca ayat, “Ya Tuhan kami, karuniakan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” Lalu berkata, “Penyenang hati bagi mereka adalah tatkala mereka melihat istri dan anaknya mengerjakan ketaatan kepada Allah.” (Lihat Jaami’ al Bayaan ‘an Ta`wiil aayi al Qur`aan, vol. 17. Hal. 530, tahqiq: Dr. Abudullah bin Abdulmuhsin At Turky)
Ingatlah, bahwa seiring dengan kesenangan dan kebahagiaan yang Allah halalkan dalam kehidupan bersama anak-anak dan istri yang kita cintai, seperti bersenda gurau dengan mereka dan mencari nafkah untuk menghidupi mereka, ada tanggungjawab yang harus kita pikul sebagai pemimpin keluarga, baik untuk urusan dunia dan yang terpenting adalah urusan akhirat mereka. Dan tanggungjawab itu tidak akan dapat kita tunaikan jika ternyata anak dan istri kita menjadi musuh bagi diri kita sendiri, bukan sebagai penyenang hati.
Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiiq
Abu Khalid Resa Gunarsa – Rancabogo, Subang, Ahad 22 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar